Apakah Kita Hidup Dalam Manipulasi Orang Lain?

APAKAH KITA HIDUP DALAM MANIPULASI ORANG LAIN?


Orang yang selalu merasa tidak aman memiliki kekosongan dalam hati mereka dan mereka merasa bahwa orang lainlah yang harus bertanggung jawab untuk mengisi kekosongan dalam hati mereka (walaupun mereka selalu berkata bahwa mereka bersandar pada Tuhan, atau menulis “Jbu, Imanuel, Tuhan memberkati” pada setiap akhir dari kata-kata mereka yang sebenarnya manipulatif. Mereka pada dasarnya adalah orang yang tidak sekyur/aman (insecure) dan berusaha mendapat security dari orang lain, mereka perlu “pemirsa”/audience untuk setuju dengan mereka.


Terkadang karena sandaran hidup yang belum berpusat pada Tuhan, mereka benar-benar bersandar pada manusia, dan ini sesuatu yang penting sekali bagi mereka. Hidup mereka harus dipuaskan oleh orang lain dan mereka menuntut orang lain untuk kepuasan hati mereka tanpa sadar bahwa mereka tidak dapat benar-benar terpuaskan (hanya hadirat Tuhan yang bisa). Akhirnya untuk membuat orang lain hidup sesuai ekspektasi mereka, mereka harus memanipulasi orang lain. 

Apa itu “manipulasi”? 

https://www.youtube.com/watch?v=RtboIzQpLKk


Emosi-emosi yang digunakan untuk memanipulasi : https://www.youtube.com/watch?v=cCjBqTiKh70


Mereka selalu memanipulasi agar keinginan mereka tercapai dan hidup mereka terpuaskan, karena ada suatu kebutuhan dalam hati mereka untuk membuktikan bahwa mereka lebih benar dari orang lain. Mereka akan menggunakan segala cara (termasuk menggunakan rasa bersalah (guilt), ancaman, ejekan, cemoohan, mempermalukan orang, kekerasan, rasa iba, permainan emosi orang lain, dst), bahkan pujian untuk “memaksa” orang lain melakukan sesuatu menurut kehendaknya.


Ada juga paksaan halus yang dinamakan “pasif-agresif” - “Jika kamu benar-benar mencintai aku kamu seharusnya......, tapi kalau nda ya terserah kamu.” Kalimat ini menyudutkan sekali, artinya kalau orang yang diajak bicara tidak melakukan kehendak pembicara maka ia akan dianggap "tidak mengasihi". Sejak kapan “mengasihi” artinya harus selalu setuju? Kalimat-kalimat ini sebenarnya manipulasi yang pasif-agresif, terdengar pasif tetapi secara agresif menggunakan “guilty feeling” untuk menekan hati-nurani pendengar untuk mentaati pembicara.


Beberapa contoh manipulasi : saat manipulator tidak puas dengan orang tua mereka, mereka menggunakan ayat yang menyebutkan bahwa orang tua jangan membangkitkan amarah anaknya (Efesus 6:4). Tapi di sisi lain saat anak mereka tidak sependapat dengan mereka, mereka menggunakan ayat “Hi anak-anak hormatilah orang tuamu.” (Efesus 6:1-3). Mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan “kriteria-kriteria” kenapa mereka lebih benar dan orang lain salah.


Saat mereka jadi bos mereka menggunakan ayat agar hamba-hamba mentaati tuannya, tapi sebaliknya saat mereka jadi karyawan mereka bisa memakai apa saja agar bos memenuhi permintaan mereka. Ini adalah lifestyle mereka, apapun agar mereka puas. Mereka memakai firman pun adalah untuk “senjata” untuk menekan orang lain. Sekali lagi, tulisan “Jbu, Imanuel” tidak menyamarkan motif mereka.


Manipulasi adalah sikap toxic yang dilakukan seseorang untuk dapat berkuasa atas orang lain, mempengaruhi emosi/pendapat & keputusan orang lain, mendistorsi realitas yang dipercayai orang lain supaya pada akhirnya ia puas bahwa orang lain melakukan sesuai yang dia anggap benar.


Semua yang dilakukan adalah egois tetapi mereka menutupi ini semua (karena malu) dengan hal yang nampaknya baik. Mereka tidak peduli dengan eksistensi orang lain sebagai seorang pribadi yang merdeka, tetapi mereka hanyalah berpikir bahwa keberadaan orang lain itu adalah untuk kepentingan mereka. Merekalah pusat kehidupan yang berhak menentukan batasan-batasan wajar bagi orang lain. Merekalah sang hakim yang berhak menentukan apakah orang lain sopan atau tidak, nakal atau taat, setia atau pengkhianat, baik atau durhaka. Kriterianya adalah persepsi dan pertimbangan mereka sendiri yang bisanya muncul dari wawasan sempit. Sikap orang lain diluar persepsi dan ekspektasi mereka akan dilihat/dianggap sebagai bentuk dosa dan mereka merasa terserang.


Yakobus 4:11 "Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau bukanlah penurut hukum, tetapi hakimnya."


Mana yang “Egois”, mana yang “Kasih”? :

Contoh 1:

Orang tua berkata pada anaknya,”Belajarlah yang rajin supaya Mama bangga padamu.” Jadi kepentingan belajar bagi anak supaya kelak ia bisa hidup mandiri adalah bukan yang terpenting, yang paling penting adalah kebahagiaan orang tua, supaya orang tua bangga & tidak malu. Anak dianggap sebagai aset/hak milik orang tuanya.


Mungkin saat melahirkan anak orang seperti ini lebih memikirkan diri sendiri, “Anak ini akan kudidik untuk berbakti padaku & menyenangkan hatiku. Jangan sampai ia terlalu bebas dan melupakanku. Aku harus punya kontrol atas dirinya. Keberadaannya adalah untuk menyenangkan hatiku dan dia harus senang & sukarela menyenangkan hatiku.”


Bandingkan dengan orang yang mendidik anaknya dengan kasih, hikmat & hormat. Memampukan anaknya untuk mandiri dan pada akhirnya bisa berjuang bagi kemerdekaan dirinya sendiri saat ia dewasa (orang yang mandiri yang memiliki kuasa dan otoritas sendiri).


Mana yang lebih memiliki kebebasan untuk mengasihi, orang yang dimanipulasi atau orang yang dibebaskan?


Contoh 2 :

Orang tua yang berkata, ”Percayalah padaku, masa Mama mau menjerumuskanmu sih? Pasti Mama mau yang terbaik buatmu. Mana ada orang tua bermaksud jahat pada anaknya? Sekalipun ada, aku pasti berikan yang terbaik buat anak-anakku.”


Bandingkan dengan orang tua yang mengerti bahwa semua orang bisa salah dan hanya Tuhan yang benar, orang tua yang tahu bahwa anak-anak mereka adalah titipan Tuhan dan mengakui bahwa saat mereka dewasa mereka adalah orang-orang merdeka (tentu “anak-anak” & “orang dewasa” adalah berbeda). Dalam mendidik anak-anak mereka akan rajin berkata,”Tuhan akan memampukan kamu untuk belajar lebih lanjut. Kemampuan dan pengetahuan Papa Mama terbatas, tapi Tuhan sendiri yang akan menunutunmu sendiri dan kamu akan mampu memutuskan yang terbaik bagimu & bagi keluargamu kelak.”


Mana yang lebih menghargai dan percaya pada Tuhan? Sikap yang self-righteous atau sikap yang menghargai hubungan pribadi orang lain dengan Tuhan?


Contoh 3:

Orang tua yang berkata,”Kalau bukan kepada anak-anak dan pasangan, kepada siapa lagi aku bergantung & curhat?”


Bandingkan dengan orang tua yang tidak “kodependensi” (selalu tergantung orang lain dan menyalahkan orang lain atas ketidakmandiriannya), mereka tahu bahwa mereka bisa bergaul dengan teman-teman mereka yang juga mengasihi mereka, mereka memiliki komunitas sehat dimana dia bisa belajar menerima dan diterima orang lain. Tentu tidak ada sahabat atau komunitas yang sempurna, tapi bukan berarti sahabat atau komunitas itu tidak diperlukan.


Sahabat dan komunitas yang baik itu ada. Dalam persahabatan & komunitas kita bisa belajar memberi dan mengurangi menuntut, belajar fokus pada orang lain daripada selalu tentang masalah diri sendiri yang selalu tampak lebih besar dari masalah orang lain.


Jika hidup penuh curiga tentu kita tidak bisa berteman, karena cara pandang kita terhadap pertemanan sudah terdistorsi oleh pengalaman negatif kita atau cerita/nasehat yang kita dengar & percayai dari masa lampau. Ubah pikiran sesuai apa kata Firman Tuhan, tidak semua tradisi yang kita percayai itu benar. Hanya karena sesuatu terdengar baik & bertujuan baik bukan artinya itu adalah kebenaran. Firman Tuhan adalah kekuatan bagi kita untuk mendobrak tipuan-tipuan yang selama ini kita percayai benar.


1 Timotius 4:7 "Tetapi jauhilah takhayul dan dongeng nenek-nenek tua. Latihlah dirimu beribadah."


Manipulasi yang manjur (supaya tampak valid) adalah manipulasi yang menggunakan kata-kata bernada kebenaran dan bahkan Firman Allah, tetapi tidak digunakan dalam konteks yang benar. Mereka hidup dalam kebohongan, ketidakadilan (unfairness) dan secara sadar atau tidak mereka memutarbalikkan fakta. Sikap ini menularkan negatifitas pada lingkungan mereka, karena itulah mereka bersifat toxic (beracun).


Manipulator suka sekali menyudutkan orang supaya orang merasa “berhutang” pada mereka. Mereka tidak percaya akan kasih sejati yang muncul dari kebebasan, mereka percaya “kasih” itu harus keluar dari paksaan. Tuhan mengasihi dunia dan mati menebus semua manusia, tapi Ia tetap memberikan pilihan bagi manusia apakah mereka ingin menanggung dosa mereka sendiri atau menerima penebusanNya.


Saat kita mengucapkan selamat kepada orang lain (ulang tahun, natal, dst), apakah itu keluar dari hak dan kemerdekaan kita untuk mengasihi ataukah keluar dari suatu keterpaksaan? (Referensi : Cerita Tuhan Yesus dengan perempuan Kanaan – apakah Tuhan Yesus menyembuhkan anak perempuan ini karena manipulasi perempuan tersebut, atau semata-mata keluar dari kasihNya yang tanpa syarat?)


Galatia 5:1 “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.”


Ingatlah bahwa kita adalah orang-orang merdeka, kita tidak dibawah kontrol sang manipulator - Roma 8:15 “Sebab, kamu tidak menerima roh perbudakan untuk kembali kepada ketakutan, tetapi kamu telah menerima Roh yang telah mengangkat kamu menjadi anak-anak, yang oleh-Nya kita berseru, “Abba, Bapa!”


Dan Amsal 22:7 mengatakan “Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari yang menghutangi.” - Tidak heran mereka suka sekali dengan segala cara membuat orang lain “berhutang” agar mereka bisa merasa lebih tinggi dari orang lain. Bahkan mereka merasa bahwa mereka memiliki orang lain, mereka yang menetapkan tujuan hidup orang lain, alasan dan keinginan orang lain, mereka yang berhak menentukan identitas orang lain menurut persepsi dan ekspektasi mereka. Orang lain adalah “budak/hamba” mereka, mereka adalah Tuhan/wakil Tuhan bagi orang lain.


Seandainya mereka adalah seorang atasan, mereka bisa memanipulasi karyawan mereka untuk mengkontrol mereka tanpa menghargai pendapat, hak dan aspirasi mereka. Manipulator hanya mementingkan diri sendiri dan keberadaan orang lain tidaklah terlalu penting, mereka hanyalah ada untuk memuaskan diri si manipulator.


Karyawan tidak punya hak untuk kerasan/tidak kerasan bekerja di situ, perasaan karyawan tidaklah valid di depan si manipulator. Jika tidak kerasan maka atasan akan menggunakan segala cara untuk memanipulasi keputusan atau perasaan karyawan untuk supaya karyawan tetap kerja di situ (kecuali ada alternatif lain).


Jika karyawan adalah orang Kristen maka atasan bisa menggunakan kesempatan ini untuk menggunakan nilai-nilai kekristenan untuk manipulasinya,”Hormatilah tuanmu, ingatlah perintah Tuhan dalam Efesus 6:5-8”, atau “Anggaplah ini sebagai pelayananmu sebagai orang Kristen”. Apakah mereka bekerja di luar job desc mereka? Apa hak-hak mereka secara fisik & psikis? Tentu hal-hal seperti ini tidak dianggap penting baginya, yang penting saat itu adalah bagaimana ada orang yang tetap bekerja membantunya.


Mereka banyak akal untuk menyudutkan orang, menyalahkan orang, bahkan pujian atau kebaikan yang mereka berikanpun adalah “bersyarat”, supaya orang lain merasa sungkan untuk tidak setuju dengan pendapat mereka. Jangan kita mau dibawa masuk dalam permainan orang-orang seperti ini. Mereka memiliki “definisi” akan kata-kata kehidupan yang sangat mengerikan.


Saat mereka bilang "I love you" yang ada dibenak mereka adalah "Aku mengasihimu dengan caraku & kamu harus mentaati aku karena kamu adalah milikku. Jika kamu tidak mentaatiku artinya kamu jahat, tidak sopan, tidak menghormatiku. Kamu harus menyenangkan hatiku karena aku mengasihimu. Kamu tidak bebas...eh...ya boleh bebas (daripada aku dibilang diktator), tapi aku yang menentukan sebatas apa kebebasanmu yang aku anggap wajar. Kamu tidak boleh beda pendapat denganku karena itu artinya kamu mengkhianati kasihku. Ingat, aku sudah memberikan hidupku & kamu wajib, berhutang utk setia padaku & menjalankan apa yang aku anggap benar...jika tidak aku akan menganggapmu tidak benar. Jangan sekali2 meragukan keputusanku karena hanya akulah orang yang paling mengasihimu. Suara-suara yang berbeda denganku adalah sesat & aku memutuskan bagimu bahwa kamu tidak boleh mempercayai mereka."


Mereka mendefiniskan orang yang merespons kata-kata mereka sebagai suatu bantahan sehingga mereka merasa terserang, menganggap orang tersebut negatif dan tidak menghormatinya. Ada sesuatu dalam hati dan benak mereka dimana mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang itu bisa berbeda dan itu adalah hal yang wajar.


Orang seperti ini banyak sekali membuat masalah dengan orang-orang di sekitar dengan pattern/pola yang sama, tapi mereka tidak menyadari bahwa hati merekalah sumber masalahnya. Dia malah berpikir orang lainlah yang bersekongkol untuk melawan dirinya, tidak mau mengampuni, tidak mengasihi sesama, dan alasan-alasan lain untuk melimpahkan kesalahan ke orang lain (termasuk menyalahkanmu). 


Mereka tidak menghargai boundary orang lain, tidak bersikap sopan dan kasar terhadap orang lain karena asumsi & persepsi sempit mereka, menghakimi & mengancam orang lain lewat sindiran-sindiran yang disamarkan seolah-olah itu nasehat untuk kepentingan orang tersebut (unsolicited advice) yang pada akhirnya menyerang orang lain. Orang lain pun dengan akal sehat akan menjauh, tetapi inipun akan mereka salahkan dengan alasan mereka "tidak mau mengampuni, tidak peduli, tidak sopan, tidak mengasihi, dst."


Persepsi dan asumsi negatif itu mereka kembangkan sendiri menjadi lebih rumit & mereka percayai sendiri sebagai kebenaran. Orang seperti ini hidup di dalam tipuan hatinya sendiri, hidup yang terkungkung dan akhirnya menjadi lingkaran setan & gaya hidup.


Logika mereka terbalik. “Kenapa dengan si A kamu tidak ada masalah, tapi denganku sebagai .....mu sendiri malah kamu tidak berkomunikasi?” - Padahal mereka sudah tahu bahwa yang diajak berbicara tidak ada masalah dengan si A dan sikap si A tidak manipulatif. Tapi mereka masih juga mau memakai ini untuk “gaslighting” & menyalahkan orang lain lagi, akan selalu ada alasan baru/lama untuk menyalahkan orang.


Jika orang tidak mau bertemu mereka, mereka akan berkata bahwa orang tersebut sombong, atau melabel orang tersebut belum bisa mengampuni (padahal Tuhan menyuruhnya untuk mengampuni), masih ada kepahitan, “kenapa harus takut?” atau tuduhan-tuduhan lainnya. Mereka belum bisa menerima kenyataan bahwa alasan orang bertemu adalah untuk sharing kehidupan, ada suasana nyaman & aman, ada kasih yang tulus & saling menghargai, ada sukacita & kebebasan, bukan meeting yang ujung-ujungnya memanipulasi.


Mereka berpikir relasi itu didasarkan atas “minta maaf”, bukan atas saling menghargai dan atas karakter yang baik. Jadi mereka berpikir setelah minta maaf tanpa adanya perubahan pikiran yang sejati mereka bisa “menuntut” orang untuk merasa nyaman dengan mereka. Jika tidak demikian maka orang lain yang salah. Padahal mengampuni bukan artinya harus merasa nyaman dengan orang-orang yang masih bermasalah dengan “kedagingan” mereka. Dan tiap-tiap orang berhak untuk menetapkan dengan siapa mereka mau berelasi. "Minta maaf" mereka & kata-kata manis mereka adalah untuk meredakan suasana supaya bisa membina hubungan lagi denganmu, karena mereka haus kontrol & memerlukan "bahan bakar" untuk mereka hidup, terutama jika mereka mengidap NPD (Narcistic Personal Disorder - bisa di Google lebih jelas mengenai gejala-gejala disorder ini). Mereka memerlukanmu untuk dikontrol & kamu adalah sumber "supply" bagi mereka. Mereka "sakit" jika tidak ada yang bisa mereka kontrol dan ini membuat mereka marah. Inilah alasan dibalik manipulasi mereka. 


Lukas 6:45 "Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya."


Bayangkan jika kita “dipaksa” mendengar seseorang yang selalu meluapkan negatifitasnya dengan alasan “curhat”, padahal itu adalah amarahnya yang selalu keluar dari hatinya, tentu kita jadi negatif juga. Hidup kita terpengaruh, dan akhirnya sekeliling kita terpengaruh. Menjauhlah dari orang-orang negatif jika mereka menolak sharing positifmu, mereka hanya mau didengar tetapi tidak mau mendengarmu balik - Amsal 18:2 “Orang bebal tidak suka kepada pengertian, hanya suka membeberkan isi hatinya.”


Pada akhirnya kamu akan buang waktu dengan perdebatan yang tidak perlu. Karena perdebatanmu itu justru akan membebani hidupmu dengan beban yang tidak perlu, kata-katamu tidak akan didengar oleh mereka. Percuma sekali memberitahu mereka mereka, ingatlah bahwa mereka tidak peduli pada pendapatmu - Amsal 15:22 “Si pencemooh tidak suka ditegur orang; ia tidak mau pergi kepada orang bijak.”

Mereka adalah tuhan atas diri mereka sendiri, mereka merasa paling bijak & tidak ada orang lain yang lebih bijak dari mereka. Hanya setiap orang yang mereka setujui yang mereka anggap bijak & layak mereka hargai.


Mereka tidak punya pengendalian diri (salah satu buah Roh), sangat reaktif & responsif, tidak berpikir jauh sebelum berbicara (tapi hal ini malah dibanggakan) - Amsal 13:3 “Siapa menjaga mulutnya, memelihara nyawanya, siapa yang lebar bibir, akan ditimpa kebinasaan.”


Amsal 20:3 “Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan, tetapi setiap orang bodoh membiarkan amarahnya meledak.”


Mereka tidak bisa menghargai perbedaan dan semua perbedaan harus diselesaikan dengan cara orang lain menuruti apa yang mereka anggap benar & bila perlu mereka akan bertengkar (yang mereka istilahkan “diskusi”) demi terciptanya “perdamaian” (artinya mereka mendapat pengakuan dari orang lain kalau mereka benar). Di sinilah mereka mulai memanipulasi banyak orang - Amsal 6:14 “Orang yang hatinya mengandung tipu muslihat (manipulasi), yang senantiasa merencanakan kejahatan, dan yang menimbulkan pertengkaran,”


Amsal 17:14 “Memulai pertengkaran adalah seperti membuka jalan air; jadi undurlah sebelum perbantahan mulai” - Tetapi bukannya menghindari pembicaraan yang mengakibatkan pertengkaran, mereka justru menyulut pertengkaran dan membuat ini menjadi lifestyle/gaya hidup mereka, dan mereka “seakan-akan” bangga bertengkar dengan banyak orang. Ini yang menjadi sumber bahan bakar mereka.


Bersikaplah tegas terhadap pencemooh dan jangan ladeni lagi jika ia berbelit-belit untuk menyudutkanmu. Mereka menyudutkanmu dengan berkata bahwa kamu tidak mau diajak berdiskusi, sedangkan yang mereka maksudkan dengan diskusi adalah, “Kamu harus setuju denganku karena sudut pandangku sesuai Firman Tuhan & sudut pandangmu tidak sesuai Firman Tuhan. Pemikiran dan perasaanmu tidaklah penting, itu tidak valid, karena buktinya aku tidak berpikir demikian.” Kembali lagi, mereka tidak tertarik dengan diskusi dua arah, mereka hanya mencari validasi dan tidak bisa menerima perbedaan - Amsal 22:10 “Usirlah si pencemooh, maka lenyaplah pertengkaran, dan akan berhentilah perbantahan dan cemooh.”


Mereka tidak suka melihat kamu berubah jika perubahanmu tidak sesuai dengan ekspektasi & persepsi mereka terhadapmu. “Kok kamu sekarang begitu terhadapku? Dulu aku beritahu (manipulasi) kamu tidak melawan, sekarang kamu selalu melawanku (sekarang tidak bisa dimanipulasi) karena kamu memiliki pendapat sendiri.” Pemikiran mereka tertutup dan mereka seolah-olah kaget bahwa kenyataannya banyak orang yang memiliki pikirannya masing-masing.


Jika kalian mempunyai sejarah bersama mereka akan mengingatkanmu bahwa jaman dulu kalian memiliki memori yang indah, tapi itu menurut mereka. Pendapat & perasaanmu tidaklah penting bagi mereka, yang mereka inginkan darimu adalah kembali ke masa lalu di mana kamu bisa menyenangkan mereka tanpa peduli pendapatmu. Mereka mengingat-ingat masa lalu yang "manis"denganmu dan ingin untuk "mengawetkan" memori tersebut karena inilah patokan kebenaran mereka, mereka ingin "mengawetkan"mu dan tidak bisa merangkul perubahan musim kehidupan. 


Mereka selalu menganggap perubahanmu, kemajuanmu, kemandirianmu sebagai suatu serangan terhadap mereka ketimbang sesuatu yang positif. Pendapat bebasmu yang dirasakan membahayakan persepsi, asumsi, ideologi yang mereka percayai akan dianggap salah & menyerang mereka, bahkan saat kamu tidak salahpun bisa dianggap salah oleh mereka.


Amsal 21:2 “Setiap Jalan Orang adalah Lurus Menurut Pandangannya Sendiri, Tetapi Tuhanlah (bukan orang lain) Yang Menguji Hati” - Kaum self-righteous bertindak sebagai “Tuhan” atau paling tidak wakil Tuhan terhadap orang lain. Mereka suka turut campur dalam perkara orang lain – Amsal 26:17 “Orang yang ikut campur dalam pertengkaran orang lain adalah seperti orang yang menangkap telinga anjing yang berlalu.


Mereka penganut standard ganda, orang lain disuruh maklum jika mereka tidak bisa berubah dengan banyak dalih tetapi menuntut orang harus berubah. Mereka bilang kata-kata mereka adalah untuk memberi semangat supaya orang lain berubah, tapi saat orang lain memberitahu mereka, mereka seperti kebakaran jenggot.


Tentu sulit sekali tinggal serumah dengan orang seperti itu. Mereka pikir hidup itu sekedar kebutuhan jasmani, sandang pangan papan tercukupi, tapi mereka belum belajar konsep bahwa suasana nyaman, kasih, sukacita, kesabaran, pengampunan adalah sesuatu yang diperlukan. Tidak ada orang yang sempurna, tetapi tentu kita semua ingin hidup tenteram, bukan tentang hidup mewah bergelimang harta – Amsal 17:1 “Lebih baik sekerat roti yang kering disertai dengan ketenteraman, dari pada makanan daging serumah disertai dengan perbantahan.”

Amsal 21:9 “Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar.” - Bayangkan jika kamu tinggal dengan seseorang yang selalu menimbulkan pertengkaran, dan ini sudah menjadi lifestyle, bagaimana kesehatan mental & jasmanimu?

Mereka mengancam orang dengan kutukan Tuhan (sebagai bentuk manipulasi), tanpa sadar bahwa bisa jadi mereka yang sedang hidup di dalamnya. Mereka percaya Tuhan mengasihi mereka tanpa syarat (di dalam kasih karunia Allah) tetapi mereka memberi syarat bagi orang lain. Mereka mengutip Filipi 4:13 Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” supaya orang lain berubah, tapi mereka mengatakan tidak sanggup berubah padahal seharusnya Tuhan Yesus juga mampu mengubah mereka. Semua yang dilakukan adalah untuk mengubah orang lain sesuai kehendak mereka tanpa mau mengubah diri sesuai kehendak orang lain.


Kita tidak bisa mengubah mereka jika mereka memutuskan untuk tidak berubah, biarlah mereka menghidupi “perlombaan” mereka sendiri. Jadi ini adalah tanggung jawab kita masing-masing untuk memiliki hikmat & bersikap tegas, apakah kita mau termakan manipulasi mereka atau kita tetap mau berdiri di atas kemerdekaan yang Tuhan berikan bagi kita.


Memang mereka berpikir mereka itu “apa adanya”, tapi disitulah kita menegerti apakah hati mereka baik atau jahat, karena apa yang diucapkan mulut keluar dari hati. Mereka menuduh orang lain tidak mau berkomunikasi dengan mereka, tetapi mereka sendiri tidak mampu/mau mendengar pendapat orang lain – Amsal 18: 1 “Orang yang menyendiri, mencari keinginannya, amarahnya meledak terhadap setiap pertimbangan”


Definisi “komunikasi” menurut mereka adalah : “Kamu dengarkan dan setujui pendapatku. Kamu benar jika kamu setuju denganku, dan kamu sangat salah sekali jika kamu tidak setuju denganmu dan aku tidak akan berhenti menjelaskan padamu tentang kebenaranku (dan kesalahanmu) sampai kamu setuju denganku, bahkan akau akan mengirim surat-surat panjang untuk kamu terima, baca & bertobat. Kamu harus utamakan suaraku, hal-hal lain dihidupmu adalah sekunder. Penolakan terhadap pendapatku adalah dosa besar, jadi sebaiknya kamu setuju denganku.”


Jika kamu berelasi dengan orang seperti ini mereka akan berasumsi bahwa kamu "ok" dengan sikap mereka. Jika kamu memtutuskan hubungan dengan mereka mereka akan mendakwa kamu bahwa kamu tidak menghargai mereka, tidak mengasihi, tidak mengampuni, dan kata-kata yang lain secara panjang lebar. Jika akhirnya kamu menjalin relasi balik dengan mereka mereka akan berpikir kamu "bertobat" dan ujung-ujungnya mereka akan expect/mengharapkan/menuntut kamu lagi untuk melaksanakan “agenda kebenaran” mereka. Dan siklus ini akan terus berulang sampai kamu memutuskan untuk menghentikannya. Berapa lama kamu mau mengisi hidupmu dengan hal-hal seperti ini bukan lagi di tangan mereka, tapi di tanganmu.


Jika kamu sudah berulang-ulang menjelaskan, berusaha mencari jalan tengah, memanggil penengah dan saksi tetapi orang tersebut sudah berkomitmen untuk selalu salah mengerti/tidak mau mengertimu maka itulah waktu untuk keluar dari relasi tersebut. Serahkanlah bebanmu pada Tuhan dan jangan bersandar pada kekuatanmu sendiri. Tuhan peduli padamu dan orang tersebut (secara terpisah), let go & let God. 


Ampunilah mereka dan jangan hidup dalam kebencian untuk kepentingamu dan orang-orang terdekatmu, karena orang-orang seperti ini memang memiliki masalah personality dan kamu bukan satu-satunya korban, tidak perlu dianggap personal (don't take it personally). Mungkin mereka sendiri masih memiliki luka masa lalu yang belum mereka selesaikan, biarlah ini menjadi pergumulan mereka pribadi dengan Tuhan melalui orang lain yang mereka percayai (atau bahkan tanpa melalui orang lain).


Namun ingatlah bahwa hanya karena kamu sudah mengampuni mereka bukan berarti kamu harus kembali lagi ke dalam relasi yang toxic tersebut. Relasi yang sejati adalah berdasarkan rasa aman, kasih & saling menghargai, bukan pelecehan psikis maupun fisik melalui ancaman atau bentuk manipulasi apapun. Mereka akan memaksakan relasi terhadapmu dengan landasan yang mereka ciptakan sendiri sesuai dengan kebutuhan ego mereka, dan ini pun manipulasi. 


Kekerasan psikis memiliki dampak destruktif yang sama dengan kekerasan fisik :

https://www.solider.id/2014/07/08/panduan-hukum-memahami-kekerasan-psikis


Bagaimana kita bisa mengasihi orang lain seperti kita mengasihi diri kita sendiri jika kita tidak menjaga & mengasihi jiwa kita? Jagalah kesehatan jiwamu sendiri, dulu baru kamu bisa berfungsi dan memberkati banyak orang sekelilingmu - Amsal 4:23 (NIV) "Di atas semuanya itu, jagalah hatimu, karena apapun yang kamu perbuat akan mengalir dari situ". 

Jika kamu berdoa untuk damai tapi kamu sendiri tidak berhenti mengekspose dirimu sendiri dari racun yang agresif, maka ini merupakan tindakan yang tidak bijaksana.


Hindari relasi toxic (beracun) dan beban-beban yang sebenarnya bukan lagi tanggung jawabmu. Menyerahkan beban kepedulianmu terhadap orang lain kepada Tuhan dan bertindak sesuai hikmat Tuhan adalah juga bentuk mengasihi. Ingatlah bahwa Tuhan menciptakanmu untuk dikasihi, bukan untuk di abused. Tinggalkan semua beban yang menghambatmu melihat kebaikan Tuhan dalam hidupmu - 1 Petrus 5:7 (AMP) "Serahkanlah semua kekhawatiran/kepedulianmu (semua kecemasan, semua kekhawatiran, semua kepedulianmu, sekali & semuanya) padaNya, karena Ia peduli padamu (dengan kasih yang mendalam, dan megawasimu/mejagamu dengan hati-hati)."


Ibrani 12:1 "Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita."


Apakah tuduhan-tuduhan dan manipulasi mereka membebani hidupmu & merintangimu dari kemajuan? Apakah hidupmu macet ditempat karena masalah dari orang yang sama terus yang mana memang ia bermasalah dengan banyak orang? Apakah hubungan di keluarga intimu, pekerjaanmu, tanggung jawab sosialmu, pelayananmu jadi terhambat karena orang tersebut?


Dalam perlombaan yang diwajibkan bagimu (Ibrani 12:1), terhadap apa/siapa matamu tertuju? - Ibrani 12:2 “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”


Saat mata kita tertuju pada Kristus, iman kita akan bertumbuh. Sebaliknya saat mata kita tertuju pada masalah yang dibuat oleh si manipulator dan dalam hidupmu kamu jadi selalu kepikiran akan hal itu terus, maka imanmu akan lemah. Ingat dan hargai boundarymu dan boundary orang lain (Referensi renungan : Menciptakan & Menghargai Batasan).


Jika kita tidak sekyur akan identitas kita dalam Kristus, hidup kita akan bersandar dari validasi orang lain. Kita akan senang dipuji dan takut di-invalidated (tidak diakui), dan ini yang membuat kita mudah termanipulasi. Tentu dipuji itu menyenangkan, tapi hendaklah ini dalam batas wajar, jangan sampai kita hidup atas pujian orang.


Pikirkan hal ini : Apakah kita hidup dengan bertanggungjawab terhadap Tuhan, atau orang lain? Jika terhadap Tuhan, kenapa kita termakan manipulasi orang lain yang seakan-akan hidup kita harus bertanggungjawab terhadapnya. Kenapa kita harus selalu merasa berkewajiban untuk menjelaskan semua pertimbangan & keputusan kita pada orang yang mau menjadi hakim & pemilik atas hidup kita?


Terlepas dari apa yang manipulator lakukan untuk mengganti identitas anda dengan istilah-istilah mereka (tidak sopan, pengkhianat, bodoh, kurang ajar, biadab, atau sebaliknya menjilat : kamu orang baik jika...., kamu pintar karena tidak seperti....), , bersyukurlah bahwa kebenarannya adalah : Tuhan Yesus telah membebaskan kita dari beban perhambaan. Kita bisa memutuskan untuk tidak hidup dalam manipulasi Galatia 5:1 “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.”


Identitasmu bukanlah apa yang orang katakan terhadapmu, identitasmu adalah apa yang Tuhan katakan terhadapmu. Kamu diterima Tuhan tanpa syarat, Kristus adalah identitasmu. Proses belajarmu (jatuh - bangun, sukses - gagal) tidak membuat kamu layak dihakimi oleh siapapun. 


Daniel Purnomo

Comments

Popular posts from this blog

Blog 23 May 2024 : Divine Healing, God's Unconditional Love, Trinity, The Gift of Righteousness, Law vs Grace

SEE GOD'S HEART WHO WANTS TO BLESS YOU