Menetapkan & Menghargai Batasan (Boundary)
MENETAPKAN & MENGHARGAI BATASAN (BOUNDARY)
Efesus 4:29-32
Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia. Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan. Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.
Tuhan bergerak dalam “frekuensi” kasih karunia. Inilah sebabnya kita pun melayani sesama supaya setiap dari kita berfokus pada kebaikan Tuhan. Namun hendaklah kita bijak untuk beroperasi dalam suasana hati yang penuh istirahat dalam damai. Jika tidak demikian fokus kita bukan lagi “Tuhan Yesus sebagai Juruselamat”, tetapi kita yang berusaha menjadi "juruselamat". Istirahat kita dalam Tuhan adalah hal terpenting, karena inilah saat kita menerima pelayanan Tuhan yang menyegarkan hidup kita.
Batasan/boundary sangat diperlukan dalam kehidupan kita. Kita sebagai manusia tentunya memiliki kebutuhan mendasar untuk re-charge hidup kita. Dengan adanya boundary kita akan hidup optimal dan tidak “burnt-out” (kelelahan) saat melayani dan berinteraksi dengan orang lain.
Tiap-tiap orang tentunya memiliki dan menetapkan batasan-batasan yang tidak sama sesuai dengan kebutuhan individual masing-masing. Beberapa orang butuh “me time” (waktu bagi diri sendiri) yang panjang (terutama orang introvert), ada juga yang membutuhkan waktu untuk rekreasi entah sendiri atau berkeluarga, ada yang membutuhkan waktu untuk refreshing dengan mengerjakan hobby-nya, dll.
Waktu saat teduh sangat dibutuhkan agar kita bisa fokus ke Tuhan dan tidak terganggu oleh hal-hal lain tidak penting, atau bahkan tidak terganggu oleh hal-hal penting lainnya. Kita tidak diciptakan sebagai makhluk yang terus-terusan melayani orang lain, sampai-sampai mengijinkan orang lain memiliki hidup kita.
Tuhan Yesus berkata bahwa Ia datang untuk melayani. Matius 20:28 “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”
Tapi apakah karena untuk melayani artinya Tuhan Yesus tidak memerlukan istirahat? Walaupun Ia Allah, tetapi karena Ia mengambil rupa sebagai manusia tentu Ia juga memerlukan istirahat, bahkan saat diperlukan Ia harus menjauh dari orang-orang yang mengharapkan pelayananNya.
Lukas 5:15-16 "Tetapi kabar tentang Yesus makin jauh tersiar dan datanglah orang banyak berbondong-bondong kepada-Nya untuk mendengar Dia dan untuk disembuhkan dari penyakit mereka. Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan berdoa."
Ada boundary yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus supaya Ia bisa menyendiri dan berdoa kepada Bapa tanpa terganggu oleh kebutuhan orang lain.
Matius 10:16 "Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati."
Banyak anak-anak Tuhan yang tidak seimbang dalam hidup keseharian mereka, bagaimana mereka tulus melayani tapi kurang diimbangi dengan hikmat sampai-sampai mereka tidak sadar bahwa mereka menyerahkan diri dalam manipulasi/tuntutan orang lain, atau bahkan tuntutan "kedagingan" mereka sendiri yang kelihatannya benar.
Mereka tidak lagi punya kuasa atas hidup mereka sendiri, orang lain yang menetapkan kapan mereka boleh beristirahat, berapa lama seharusnya mereka beristirahat, apa yang sebenarnya mereka harus lakukan, mereka merasa harus selalu memberi laporan dan menjelaskan jadwal mereka terhadap orang lain yang sebenarnya orang tersebut bukan orang seperior mereka. Ini dilakukan hanya supaya tidak dinilai negatif oleh orang tersebut. Mereka terjebak dalam penilaian orang lain, ada daftar yang mereka tidak sadar harus mereka penuhi berdasarkan penilaian orang lain, dan akhirnya mereka hidup dalam validasi orang lain. Ini artinya “takut akan manusia”.
Kita perlu menetapkan boundary dan menghormati boundary orang lain untuk melindungi kita dan orang lain dari toxic relationship supaya tidak terjadi sikap-sikap manipulatif yang pada akhirnya sangat sangat merugikan banyak pihak.
Hubungan beracun (toxic relationship) istilah untuk menggambarkan suatu hubungan tidak sehat yang dapat berdampak buruk bagi keadaan fisik maupun mental seseorang. Hubungan ini tidak hanya bisa terjadi pada sepasang kekasih, tapi juga dalam lingkungan teman dan bahkan keluarga. (https://www.alodokter.com/hati-hati-ini-tanda-kamu-terjebak-dalam-toxic-relationship#:~:text=Toxic%20relationship%20atau%20hubungan%20beracun,lingkungan%20teman%20dan%20bahkan%20keluarga.)
Orang toxic punya pemikiran bahwa keberadaan orang lain itu adalah untuk mereka, dan memang seharusnya demikian. Mereka tidak mengerti bahwa perbuatan baik seseorang itu seharusnya keluar dari kebebasan orang tersebut, bukan karena orang berhutang terhadap dirinya. Jika mereka minta tolong seseorang dan orang tersebut dengan suatu hal tidak bisa / tidak mau menolong, maka toxic person akan marah dan menganggap negatif orang tersebut. Untuk memperhalus niatnya, maka orang toxic akan menggunakan berbagai cara manipulasi seperti : perasaan bersalah (guilty feeling), mengasihi diri sendiri (self-pity), rasa takut (fear), dan sebagainya agar orang lain melakukan sesuai permintaannya.
Misalkan : “Katanya pendeta, kok tidak mau melayaniku? Apa benar orang seperti itu jadi pendeta?” Bayangkan orang seperti ini ada dalam kerumunan orang banyak di cerita Tuhan Yesus tadi, “Katanya Juruselamat, aku datang jauh-jauh kok malah pergi meninggalkan aku. Aku sih tidak papa, tapi ini menyangkut orang banyak lho.” Hal ini juga bisa disebut “spirit of entitlement” yang artinya keyakinan yang dimiliki seseorang dimana dirinya merasa punya hak untuk mendapatkan sesuatu.
Mereka asal berujar, tapi seandainya pernyataan serupa disampaikan kepada mereka, “Katanya orang Kristen, kok tidak membawa damai?” Orang toxic akan segera naik pitam dan punya 1001 alasan betapa tidak pantasnya orang lain memperlakukan mereka dan betapa menyedihkannya orang memperlakukan mereka / merasa menjadi korban (play victim).
Dalam hidup ini akan selalu ada beberapa orang yang berkomentar pedas & nyinyir tanpa memikirkan perasaan orang lain dengan pernyataan-pernyataan yang membuat kita dalam posisi salah. Seringkali mereka menggunakan istilah bijak yaitu “nasehat yang baik” dan tidak jarang menggunakan nama Tuhan untuk kepentingan pribadi mereka dengan pembuktian akhir bahwa betapa bersalahnya dan tertangkap basahnya orang lain dan betapa "bijak" dan "benar" diri mereka. Kejadian seperti ini rupanya dialami oleh Tuhan Yesus sendiri.
Matius 9:10-11 "Kemudian ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. Pada waktu orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”"
Orang-orang Farisi berkata kepada seseorang yang baru saja disembuhkan Tuhan Yesus karena buta sejak lahir - Yohanes 9:29 "Kami tahu, bahwa Allah telah berfirman kepada Musa (mereka membawa Firman Tuhan), tetapi tentang Dia (Yesus) itu kami tidak tahu dari mana Ia datang."
Lihat bagaimana orang Farisi bersikap seolah-olah bermoral tinggi dan lihat bagaimana cara mereka bersikap dengan merasa berhak menghakimi orang lain.
Yohanes 8:3-6 "Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?" Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya."
Dari perikop di atas, kita bisa melihat bagaimana sikap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menggunakan Firman untuk menjebak orang lain dan bahkan menjebak Tuhan Yesus. Pikiran mereka adalah tentang hukuman bagi yang bersalah, bukan kasih yang membebaskan orang dari dosa. Berbeda dengan Yesus, mereka menuntut dan bukan memampukan. Fenomena yang menarik bukan?
Inilah yang dikatakan Tuhan Yesus sendiri terhadap kaum tersebut : Matius 23:4-5 "Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang."
Matius 23 :27-28 "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan."
Bukankah pernyataan Yesus sangat kasar dan keras terhadap orang Farisi? Bukankah tindakanNya jauh berlawananan dengan ayat bacaan kita di atas dari Efesus 4:29-32? Mengapa Tuhan tidak menggunakan kata-kata yang baik dan membangun supaya orang Farisi dan ahli Taurat beroleh kasih karunia?
"Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri" - Efesus 2:8-9. Pemberian Allah keluar dari kemurahan kasih karunia Allah, bukan karena keharusan atau kewajiban Allah. Bukan karena tindakanmu yang akhirnya menjadikan Allah wajib berbuat baik terhadapmu.
Saudaraku yang terkasih, ini artinya kasih karunia Tuhan baru bisa diterima seseorang apabila orang tersebut tahu bahwa dirinya tidak layak. Oleh sebab itu orang-orang yang merasa dibenarkan dan dilayakkan karena perbuatan mereka sendiri (self righteous) tidak bisa menerima kasih karunia Tuhan, karena mereka merasa lebih benar dan lebih layak daripada orang lain.
Di perikop lain kita bisa melihat isi hati Tuhan, bagaimana saat Ia marah terhadap gembala-gembala Israel dalam. Yehezkiel 34:4, "Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman." Versi New King James mengatakan "...but with force and cruelty you have ruled them.", "...tetapi dengan kekerasan/paksaan dan kekejaman kamu telah memerintah mereka."
“Lho katanya Tuhan mengasihi, kok Dia marah?”
Markus 2:16-17
Pada waktu ahli-ahli Taurat dari golongan Farisi melihat, bahwa Ia makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa itu, berkatalah mereka kepada murid-murid-Nya: "Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa? " Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa."
Benar. Tuhan mengasihi domba-dombaNya & Ia melindungi mereka dari serangan-serangan kata-kata jahat yang membuat mereka merasa kecil dan karena itulah Ia marah terhadap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dan lebih nyaman bersama dengan pendosa-pendosa & justru selalu bertengkar dengan kaum self-righteous yang merasa benar karena segala usaha dan pekerjaannya (self effort).
Perlu diingat bahwa Firman Tuhan itu kata-kata, dalam kata-kata ada kuasa, bahkan alam semesta-pun diciptakan oleh Firman Tuhan. Dan iblis yang adalah pencuri pun datang untuk mencuri, membunuh, dan membinasakan (Yohanes 10:10) jadi di saat kita mengikuti permainan pikiran dan kata-kata (mind games) dari iblis untuk membuktikan diri, kita tidak sedang mendengarkan kata-kata Tuhan.
Lihat di ayat ini bagaimana Yesus sendiri ditantang iblis yang mengutip ayat Alkitab untuk membuktikan diri (self effort) namun Yesus tahu betul bagaimana menyikapinya.
"Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti."
"Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis : Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu. " (Matius 4)
Saat kita tahu siapa diri kita sebenarnya kita tidak termakan kata-kata yang menyuruh kita membuktikan identitas kita, karena kita tidak mau bereaksi secara "daging". Allah berkata bahwa Kristuslah identitas kita, dan kita tidak termakan kata-kata yang "menantang" kedagingan kita untuk membuktikan diri atau memuaskan pihak tersebut. Saat kita hidup dalam kasih karunia Tuhan maka"Nothing to prove, nobody to impress", karena hidup kita bukan lagi tentang kita, tapi tentang Kristus.
Tuhan Yesus mengasihi domba-dombaNya, Ia menggembalakan domba-dombaNya dan bukan untuk mengendalikan domba-dombaNya dengan tangan besi. Tuhanpun tidak marah dengan domba yang hilang (dengan pendosa, orang yang tersesat karena meninggalkanNya, atau belum kenal denganNya) ; tapi Ia marah dengan orang yang pendengki yang menghambat orang lain menerima kasih karuniaNya, yang mengalihkan perhatian orang lain dari Tuhan Yesus.
Tentu ada bedanya antara “marah” dan “pemarah”. Orang yang sesekali marah bukan artinya pemarah, sedangkan orang yang mengijinkan dirinya dikuasai oleh emosi marahnya secara terus menerus / konsisten hingga marah telah menjadi sikap hati dan kebiasaan yang tidak disadarinya, bahkan orang disekiling mereka mengakui hal yang sama mengenai hal itu. Tanpa disadari mereka sering menyatakan diri sebagai korban dari perlakuan orang sekitarnya, tetapi mereka lupa diri bahwa hidup adalah tentang memilih dan memutuskan.
Dunia sudah penuh dengan pengkritik dan pencemooh, tapi kita bisa memilih untuk mengambil bagian menjadi pribadi yang memberi dampak dan dimana kehadiran kita menjadi pembawa damai sejahtera dan sukacita.
Hanya berkata ”Ayo, yang semangat!” dengan penuh emosi yang tertahan maupun amarah bukanlah memberi semangat, sama seperti memberi semangat “Ayo melihat!” pada orang buta. Ini sama dengan berkata,"Ayo kenyang" kepada orang lapar tanpa memberi makan.
Lalu apakah tindakan ini memberi berdampak positif yang signifikan, memberi rasa damai sejahtera, sukacita dan memampukan; atau justru pemberian semangat ini malah menjadi tekanan dan tuntutan bagi pendengarnya?
Apa yang menjadi tindakan kebenaran dari orang toxic dan orang yang mengasihi punya landasan keyakinan dan hati yang berbeda. Orang toxic melakukan "tindakan benar" bukan justru menjadikan kepercayaan diri meningkat dan menyembuhkan, tapi justru semakin membuat si pendengar semakin hari semakin merasa lumpuh / tidak berdaya karena mereka jadi fokus pada kekurangan mereka (bukan pada kemampuan Tuhan). Mekanismenya seperti ini : orang yang tertuntut akan berfokus pada diri sendiri, mereka akan 1/ mengupayakan usaha yang keluar dari diri mereka sendiri (self-effort) atau 2/ stress karena mereka ternyata tidak bisa memenuhi tuntutan si penuntut dan akhirnya tambah depresi.
Ini adalah momen dimana dari waktu ke waktu hati, pendengaran dan pikiran mereka yang sudah lemah, sakit dan buta terisi dengan kesadaran diri yang kuat (self-conscious), betapa tidak berharganya mereka, dan bukan sadar akan kebaikan dan kehebatan Yesus yang memampukan (Jesus-conscious).
Hati yang bahagia adalah obat yang baik dan pikiran penuh sukacita memberikan kesembuhan, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang - Amsal 17:22 Amplified Bible
Sebuah hati yang penuh sukacita dan kebaikan membuat wajah berseri-seri, tetapi ketika hati penuh dengan kesedihan roh itu hancur - Amsal 15:13 Amplified Bible
Apakah tindakan kita memberi semangat yang menyegarkan dengan kasih, damai dan sukacita; atau justru tindakan yang kita pikir memberi semangat ternyata adalah keluar dari roh dengki, legalisme, manipulatif dan menuntut orang lain yang akhirnya berdampak mengeringkan tulang dan menghancurkan roh orang lain karena kamu menaruh mereka dalam depresi (karena fokusnya terus-menerus membuat orang lain dalam guilty feeling)?
Jika ditelaah lebih jauh perilaku serupa seperti permainan pikiran dan kata-kata (mind games) yang dilakukan iblis juga dilakukan oleh kaum Farisi, ahli-ahli Taurat dan kaum self-righteous untuk kepentingan pribadi, menjaga posisi dan ego mereka yang tinggi (merasa lebih benar) sehingga saat orang di sekitar mereka menyampaikan keberatan atas sikap "penuntut" mereka, justru mereka akan teriak lebih keras (marah). Oleh karena itu Tuhan menghancurkan pribadi mereka yang penuh self-righteous dengan keras, supaya pada akhirnya mereka bisa menerima kasih karuniaNya.
Label "obat", "memberi semangat", dan "nasehat baik" tidak akan merubah racun menjadi obat. Demikian juga kata-kata manipulatif pun tidak akan menjadi lebih positif dan membawa kasih karunia saat disertakan "Jesus bless us, Imanuel", dan seterusnya.
Dari Firman Tuhan kita bisa melihat bahwa Allah tidak bisa memuaskan keinginan semua orang jika keinginan hati mereka sendiri penuh dengan keinginan “kedagingan”. "Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." (Yakobus 4:3).
Seorang pemarah hanya berkeinginan lupa bahwa mereka mengijinkan diri mereka dikuasai hawa nafsu amarah saja secara konsisten (baik disadari / tidak disadari) dengan pembenaran menyatakan diri apa adanya hanya saja itu dihias supaya terlihat baik atau menunjuk orang lain sebagai penyebab perilaku marah mereka. Seorang yang pemarah sangat mudah terganggu pada hal-hal yang bukan menjadi ranah dan wilayah mereka demi kepuasan hati untuk mengkoreksi orang lain tapi punya kesadaran diri yang rendah / bahkan tidak ada ruang untuk mengkoreksi dirinya sendiri.
Kelanjutan dari ayat bacaan kita di atas, Efesus 4:26 “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.”
Seorang yang pemarah tidak memiliki buah Roh “pengendalian diri”, mereka marah akan banyak hal, bahkan segala hal. Marah adalah “keinginan” dan “kecanduan” yang harus mereka penuhi untuk pelampiasan dan pemuasan hati mereka dimana marah menjadi hidup dan Tuhan mereka.
"Apakah Tuhan Yesus pemarah?" Tentu tidak. Tuhan Yesus marah namun bukan pemarah. Tuhan Yesus marah demi menyingkirkan penyamun-penyamun yang menjadi penghambat bagi orang lain untuk datang ke bait Allah (Matius 21:12-16) sedangkan pemarah hanya memenuhi kedagingan dan keinginan pribadi dan karena kesadaran diri mereka yang rendah untuk mau menelaah diri sendiri (introspeksi/self awareness) tidak jarang mereka menggunakan / mencari-cari ayat Alkitab untuk bisa mendukung nafsu/hasrat mereka untuk sibuk memonitor kemampuan orang lain dalam mentaati Firman Tuhan (gejala yang sama dengan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat) namun mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.
Matius 23:4
Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.
Gereja, persekutuan-persekutuan dan keluarga-keluarga Kristen adalah tempat bagi orang-orang yang tidak sempurna, karena setiap manusia adalah orang-orang yang terluka yang membutuhkan Sang Dokter dan Juru Selamat. Komunitas yang sehat adalah komunitas yang aman bagi orang-orang terluka untuk memproses luka mereka di sana saat mereka berjumpa sosok kasih karunia.
Komunitas yang menyembuhkan, penuh damai sejahtera, tanpa pencitraan (real people) dan penuh Kasih KaruniaNya adalah komunitas yang memampukan seseorang untuk menunjukkan kelemahan mereka sendiri tanpa harus sibuk menunjuk orang lain secara bersamaan atau menunjuk orang lain terlebih dahulu agar lebih terlihat lebih baik. Komunitas yang menjadikan kita pribadi yang lebih baik, tidak merasa terhakimi, terlucuti dan malu dengan kekurangan diri masing-masing karena mereka datang sebagai orang yang tidak sempurna, orang yang sakit yang membutuhkan kesembuhan dan kasih karunia Tuhan. Komunitas yang selalu mengingatkan dimana hanya kasih karuniaNya yang melayani, menyembuhkan, memenuhi dan memulihkan. Sebagaimana Yesus lebih nyaman berkumpul bersama orang sakit dan pendosa daripada berkumpul dengan seseorang yang memposisikan kebenaran Tuhan pada dirinya sendiri (self-righteous) yang merasa sebagai wakil Tuhan (seperti cerita ahli Taurat dan orang Farisi di atas). Proses pemulihan dan kesembuhan baru bisa terjadi saat penghakiman dan penghukuman berhenti. Proses memerlukan waktu dan interaksi/relasi pribadi dengan Tuhan yang dilandasi percaya. Ketakutan bukanlah faktor yang baik, justru akan menghambat proses.
Tuhan mengajarkan kita menjadi pribadi yang lemah lembut tetapi juga tegas. Dengan kepercayaan dan keyakinan yang benar, maka hikmat dan posisi hati benar dan menghasilkan hidup benar serupa gambar dan rupaNya, bukan serupa gambar yang diberikan orang Farisi maupun ahli Taurat.
Dengan memiliki sikap rendah hati untuk mau menjadi pribadi yang real, berani tampil menunjukkan kelemahan dan terbuka untuk belajar serta bertumbuh, kita tidak sibuk mengkoreksi dan menunjuk orang lain, tetapi kita cukup satu demi satu menyerahkan kelemahan dan kedagingan kita sendiri pada Tuhan untuk mau dibentuk dan cukup menikmati proses berelasi kita pribadi dengan Tuhan untuk mengganti pikiran, kepercayaan, nilai yang lama dengan pikiran Kristus yang sudah lahir baru.
Perlu diketahui bahwa setiap dari kita masing-masing mempunyai perjalanan dan proses pembaharuan akal budi secara pribadi bersama Tuhan, maka setiap dari kita memiliki perjalanan yang tidak sama satu dengan yang lainnya. Belajar menikmati proses perjalanan masing-masing hidup berelasi bersama Tuhan dengan rasa aman, damai sejahtera, sukacita dengan tidak menahan proses pertumbuhan orang lain tanpa disadari. Setiap dari kita punya hak dan tanggungjawab pribadi yang sama untuk melindungi hati dan pikiran kita dari hal-hal yang tidak memberikan rasa aman, damai sejahtera Allah dengan mengambil keputusan dan bersikap tegas untuk menolak.
Penolakan adalah hal yang paling menyakitkan untuk manusia terima, namun dengan tapi dengan posisi hati yang benar (Jesus conscious), kita menyadari bahwa perasaan tidak enak ini perlu dilalui, diproses, dicerna bahwa kedagingan dan manusia lama kitalah yang perlu kita didik. Dengan melepaskan segala rasa tidak nyaman karena penolakan hanya kepada Tuhan melalui doa, hidup kita akan lebih tenang dan damai.
Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1 Petrus 5:7) Percayakan kepada Tuhan segala (bukan hanya sebagian) kekhawatiran/masalahmu.
Adakah Yesus berkata bahwa temanmu, saudaramu, tetanggamu, gurumu, orangtuamu, anakmulah yang memelihara dan bertanggungjawab atas hidupmu? Lalu kepada siapa kita menyerahkan hidup, masalah, tanggungjawab, emosimu, kekuatiran hidupmu dan kekuatiran hidup orang lain? Yesus! Sebab Ia yang memelihara kamu.
Berhenti menghabiskan waktu dengan orang yang belum bisa menerima kita, yang sibuk memberi anjuran, nasehat tanpa kasih yang jujur – karena ini hanyalah manipulasi demi kepentingan pribadi semata, apalagi hingga surat-surat, email dan pernyataan yang terus-terusan membombardir damai sejahteramu dan menahan langkah hidupmu.
Tuhan Yesus tidak pernah menggunakan cara manipulatif untuk menjaga, merawat, dan memelihara anakNya. Karena manipulasi berusaha mengkontrol hiupmu, merampas kebebasan yang Tuhan berikan bagimu dan pada akhirnya membunuhmu. Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan - Yohanes 10:10.
Damai sejahtera, sukacita dan kelimpahan dalam hidupmu berdasar pada pengambilan keputusan untuk menentukan siapa yang berhak dan berkuasa di dalam hidupmu. Berhenti menyerahkan kekuatiranmu pada orang lain dan segera ambil keputusan untuk menata perjalanan hidupmu sendiri bersama Tuhan dan serahkan segala kekuatiranmu atas hidupmu sendiri / hidup orang lain pada Tuhan semata yang memeliharamu dan isilah pikiranmu dengan kebaikan dan kasih karunia Tuhan.
Jadi jika ada orang yang secara terus menerus “melukai” komunitas, kita harus mengasihi komunitas tersebut & menghentikan pengganggu. Jangan mau dimanipulasi oleh orang yang manipulatif, kasihi & doakan mereka dalam hikmat, tetapi tidak harus selalu melayani apa mau mereka. Kamu hidup untuk Tuhan, bukan untuk dimanipulasi menjadi hamba orang tertentu.
Jika mereka meminta maaf, lihat buah pertobatan mereka, apakah ada buah-buah Roh, atau hanya “buah-buah” yang ingin mereka hasilkan sendiri dengan pembuktian-pembuktian mereka. Bisa juga mereka hanya minta maaf hanya supaya mereka bisa “menjerat” orang-orang lain, merendahkan orang lain untuk membuktikan dirinya sendiri yang benar, tanpa benar-benar sadar tindakan mereka yang merusak keluar dari akar kepahitan hati mereka.
Ingatlah bahwa relasi antar manusia tidak semata-mata pulih tanpa ada pertobatan sejati dalam kasih. Jika mereka tidak peduli perasaan & harga diri orang lain, yang dipentingkan hanyalah harga diri & kepentingan mereka sendiri, ini tentunya bukan kasih. Jangan lagi tertipu dengan pendapatnya yang seakan-akan berkata, “Katanya sudah mengampuni, tapi kenapa kok....?” karena ia sebenarnya hendak melanggar boundarymu lagi.
Jika Tuhan tidak bisa memuaskan mereka melalui pelayananmu, apa yang membuatmu berpikir bahwa kamu bisa membuatnya berubah? Tidak perlu melayani semua perdebatan mereka karena ini akan menyedot hidupmu dan hidupmu menjadi tidak efektif lagi. Perilaku orang toxic seperti ini bisa kita crosscheck dengan orang lain juga, apakah memang orang yang kita duga memang sering memanipulasi ataukah hanya kebetulan saja.
“Bagaimana menghadapi orang yang keras kepala? Mereka mencekik orang lain dengan manipulasi mereka dan tuntutan mereka, membebani bahu orang lain...tetapi mereka sendiri tidak mau melaksanakan apa yang mereka kotbahkan. Dan mereka selalu menyangkal bahwa mereka berbuat itu semua.”
Tuhan Yesus mengajarkan dalam Matius 18:16-17 "Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai."
Pemungut cukai adalah kaum buangan di mata orang Israel karena mereka tidak berperikemanusiaan dan pengkhianat bangsa. Mereka menekan bangsa sendiri (Yahudi) dan menguntungkan bangsa Romawi yang menjajah Israel. Artinya kamu anggap saja orang yang keras kepala tersebut sebagai orang buangan, biarlah Tuhan Yesus saja yang pada akhirnya menemui “pemungut cukai” itu, mereka bukan bagianmu lagi.
Jika memang orang tersebut sering memanipulasi orang lain, apapun yang kamu lakukan juga tidak akan memuaskan orang tersebut (kepuasan mereka semu semata). Jika kamu memaksakan diri memuaskan mereka, yang ada hanyalah “kedaginganmu” memuaskan “kedagingan” mereka, kamu beroperasi dari buah “pohon pengetahuan yang baik dan jahat”, bukan lagi dari “pohon kehidupan”. Biarlah mereka belajar untuk menyelesaikan masalah hati mereka sendiri dengan Tuhan tanpa campur tanganmu. Tuhan Yesus sudah bangkit dan di sorga (sudah tanpa boundary).
Seperti Nehemia yang diajak berdiskusi oleh pihak musuh, ia berkata bahwa ia tidak ada waktu. Bahkan Sanbalat musuh Nehemia mengirimkan surat serbuka yang isinya fitnah. Tentu beda sekali antara surat yang menyegarkan jiwa kita dan mencelikkan hati kita pada kebaikan Tuhan, dengan surat yang mencelikkan kita pada kepahitan si penulis.
Nehemia 6 :1-6 “Ketika Sanbalat dan Tobia dan Gesyem, orang Arab itu dan musumusuh kami yang lain mendengar, bahwa aku telah selesai membangun kembali tembok, sehingga tidak ada lagi lobang, walaupun sampai waktu itu di pintu-pintu gerbang belum kupasang pintunya, maka Sanbalat dan Gesyem mengutus orang kepadaku dengan pesan: "Mari, kita mengadakan pertemuan bersama di Kefirim, di lembah Ono!"
Sampai empat kali mereka mengirim pesan semacam itu kepadaku dan setiap kali aku berikan jawaban yang sama kepada mereka. Lalu dengan cara yang sama untuk kelima kalinya Sanbalat mengirim seorang anak buahnya kepadaku yang membawa surat yang terbuka.
Dalam surat itu tertulis: "Ada desas-desus di antara bangsa-bangsa dan Gasymu membenarkannya, bahwa engkau dan orang-orang Yahudi berniat untuk memberontak, dan oleh sebab itu membangun kembali tembok. Lagipula, menurut kabar itu, engkau mau menjadi raja mereka.”
Ada perbedaan signifikan antara berdiskusi dengan semangat mau belajar dan haus kebenaran Tuhan dengan "berdiskusi" yang semangat menghakimi orang lain dan mau menang sendiri karena memiliki kebutuhan/hasrat untuk membuktikan kebenaran diri sendiri.
Mereka hanya membaca Alkitab untuk me-legal-kan apa yang mau mereka lakukan, tapi mereka tidak punya relasi dengan Tuhan. Tuhan Yesus berkata kepada orang-orang Farisi dalam Yohanes 5:39-40 "Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu."
Ada juga orang yang mengajakmu berdiskusi, tapi seperti Sanbalat musuh Nehemia, ucapan itu hanyalah bentuk manipulasi yang pada akhirnya jika diladeni akan menjerat hidup kita sendiri, mengacaukan rumah tangga, melumpuhkan pekerjaan, mengganggu fokus panggilan dan pelayanan kita.
Ada harga dan resiko yang harus dibayar dari setiap keputusan hidup yang kita ambil. Jika kamu mengambil keputusan untuk masuk ke dalam siklus dari toxic relationship, maka resiko damai sejahteramu siap dicuri, tidak sampai disitu saja, tetapi merongrong hingga teman, keluarga, rekan kerja dan siapapun yang memiliki relasi dengan kita.
Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? - Matius 7:3
Itulah sebabnya dinamakan hubungan beracun (toxic) karena hubungan ini seperti virus dan jamur yang menjalar, menggerogoti jiwamu dan jiwa orang disekitarmu. Virus dan jamur tidak perlu menyadari diri mereka beracun karena virus dan jamur hanya menjadi diri mereka sendiri apa adanya. Itulah sebabnya level kesadaran mereka akan perilaku dan "awereness" mereka sangat rendah karena mereka sibuk menunjuk orang lain dan menghakimi tanpa bisa melihat diri mereka sendiri.
Jika mereka punya kerendahan hati untuk mendengar dan belajar dari orang lain (being teachable), kita dapat menganjurkan mereka untuk bisa ditangani dengan pihak yang lebih profesional karena keberadaan mereka tidak membuat orang sekitarnya merasa aman, damai sejahtera dan sukacita.
Setiap orang bertanggung jawab terhadap hati mereka masing-masing, keputusan untuk bersukacita atau mengijinkan pandangan negatif menguasai hati adalah pilihan masing-masing pribadi. Kekosongan hati orang adalah buah dari keputusan yang kita/mereka pilih untuk hidup dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatan mereka sendiri dan menolak untuk sadar Yesus (Jesus conscious) dan menyerahkan kekuatiran mereka di dalam Dia.
Yang bisa kita lakukan dalam pelayanan dan interaksi kita dengan orang lain adalah menginspirasi mereka, memberikan alternatif pemikiran yang baru dengan membukakan kebenaran tentang kasih karunia Tuhan, memberikan kesembuhan Ilahi dari Tuhan bagi mereka, memberi semangat pada mereka dengan kata-kata positif & dalam kasih, tetapi semuanya ini bukan keluar dari paksaan karena mereka mempunyai hak untuk menerima dan menolak. Relasi yang sehat tumbuh dari semangat sukarela dan saling menghargai, bukan dari paksaan.
Untuk mencapai relasi yang harmonis kita perlu menegakkan boundary bagi kita sendiri, kita hargai boundary kita dan juga boundary orang lain. Ini artinya ada hikmat yang mencakup kasih dan ketegasan, Jika kita sendiri tidak bisa menghargai boundary yang kita tetapkan, bagaimana kita mengharapkan orang lain menghargai kita? Tentu orang lain bisa mengkontrol kita. Demikian juga sebaliknya, saat kita tidak menghargai boundary orang lain maka kitalah yang akan bersifat destruktif.
Saat kita tegas dan bijaksana dalam menghargai boundary kita dan orang lain, kita akan menjadi teladan yang baik bagi semua orang dan pada akhirnya komunitas kita akan maju bersama. Amsal 29:8 "Pencemooh mengacaukan kota, tetapi orang bijak meredakan amarah."
Memang kadang terasa berat untuk bersikap tegas, namun kita tidak seharusnya merasa bersalah saat kita harus mengusir "serigala berbulu domba" demi untuk melindungi domba-domba yang lain, justru seharusnya kita merasa lebih bersalah saat kita tidak melindungi komunitas kita dari pencemooh tersebut. Amsal 22:10 "Usirlah si pencemooh, maka lenyaplah pertengkaran, dan akan berhentilah perbantahan dan cemooh."
“Bagaimana jika saat kita menetapkan boundary ada orang yang tersinggung karena mereka merasa tertolak?”
Tentu tiap kasus berbeda-beda, tetapi kita harus sadar bahwa memang kita tidak terpanggil untuk memuaskan setiap kemauan orang lain. Bisa saja orang lain tersinggung, tetapi jangan kita terpancing dan bereaksi hanya karena orang lain tersinggung. Ini hanyalah proses yang perlu waktu, biarlah mereka juga belajar hal-hal yang mereka perlu pelajari. Fokus pada Firman Tuhan membuat kita merespons tuntunanNya, fokus pada masalah akan membuat kita melakukan sesuatu hanya sebagai reaksi saja.
Tuhan Yesus juga tidak bereaksi saat banyak murid-muridNya meninggalkanNya karena kata-kata Tuhan Yesus menyinggung mereka (Yohanes 6:60a-61). Yohanes 6:66 “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.” Apakah Ia berhenti menjadi diriNya sendiri (sosok kasih karunia) hanya karena kehilangan pengikut? Tentu tidak. Apakah Ia berusaha lebih keras untuk meraih hati mereka yang meninggalkanNya agar kembali lagi? Tidak juga. Ia biasa saja, tidak juga melarang mereka meninggalkanNya atau memarahi mereka, karena itu hak mereka. Bisa saja nantinya perjalanan hidup mereka akan pada akhirnya menuntun mereka kembali ke Tuhan Yesus – just for fun fact, ayatnya di sini nampak mengerikan (Yohanes 6:66).
Ini juga menjadi pelajaran bagi kita bahwa identitas kita, siapa kita sebenarnya, tidak ditentukan oleh apa kata orang, bagaimana reaksi orang terhadap kita, bahkan bukan ditentukan oleh feeling/emosi kita. Jangan kita menjadi “budak” pendapat orang lain, emosi kita, kekecewaan kita, dan lain-lain. Hanya Tuhanlah yang menetapkan siapa kita di dalamNya, Kristuslah identitas kita. Dengarkan Tuhan, jangan dengarkan suara-suara yang bertentangan dengan suara Tuhan yang ingin kamu menerima kasih karuniaNya (Efesus 4:29).
Hikmat itu adalah pengetahuan akan konteks (waktu, situasi dan kondisi) dimana orang itu berada. Seorang prajurit ahli perang akan menggunakan semua perlengkapan perangnya untuk melindungi diri dan bahkan dengan tegas menghancurkan musuh yang menyerang negaranya tanpa rasa bersalah. Tapi ia adalah seorang suami dan ayah yang mengasihi di rumah tangganya, ia tidak mengenakan perlengkapan perang di rumahnya. Jangan biarkan musuh mengatakan padamu, “Katanya orang Kristen, tapi kok menjauhi aku?” atau kalimat manipulatif apapun yang menggunakan fear, guilty feeling, doubt, shame, atau bahkan pride. Hendaklah identitas kita tertanam & bertumbuh dalam Kristus.
"Apakah saat kita menetapkan boundary artinya semua masalah selesai?"
Tentu tidak demikian. Dalam dunia ini kita semua mengalami proses belajar, tidak ada yang sempurna, aku dan kamu tidak sempurna. Tapi paling tidak masing-masing dari kita memiliki ruang aman untuk belajar, termasuk di dalamnya ada kesempatan untuk berbuat salah/gagal tanpa terhakimi. Ada lingkungan yang aman saat kita gagal, supaya dengan ini kita bisa belajar dari kegagalan dan move on lebih lanjut. Salah dan gagal itu adalah bagian dari proses juga, hal ini wajar dan sama pentingnya dengan keberhasilan.
Yang jadi kendala bagi orang belajar adalah ketakutan terhadap kegagalan, adanya anggapan bahwa gagal adalah sesuatu yang memalukan & layak dihukum. Cara berpikir inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Jauhi suara-suara penghakiman dan penghukuman dalam hidupmu karena ini akan melumpuhkanmu dan mengganggu prosesmu dalam hidup. Dalam kehidupan ini tidak ada namanya seseorang mencapai tujuan/goal kesuksesan tanpa kegagalan. Belajar bagaimana berhasil dengan baik dan belajar bagaimana gagal dengan baik juga (artinya bagaimana kita sadar bahwa gagal hanyalah proses, tidak ada penghakiman atau penghukuman).
Tanpa boundary yang jelas akan banyak orang yang masuk ikut-ikutan mengganggu proses pergumulanmu dengan Tuhan. Mereka berusaha mengendalikanmu karena merasa pendapat mereka lebih benar. Padahal tanggung jawab mereka adalah mengembangkan relasi mereka pribadi dengan Tuhan. "Pengendalian diri" artinya mengendalikan diri sendiri, bukan "mengendalikan orang lain". Jangan memaksa diri untuk mengurusi orang lain, apalagi memaksa orang lain untuk mau kamu urusi. Amsal 9:12 "Jikalau engkau bijak, kebijakanmu itu bagimu sendiri, jikalau engkau mencemooh, engkau sendirilah orang yang akan menanggungnya."
Tanggalkan semua yang menghambat pandangan kita terhadap Kristus karena tugas kita masing-masing adalah memandang Kristus. Saat kita memandang Kristus hidupNya termanifestasikan dalam hidup kita, saat itulah kita menjadi berkat bagi orang lain melalui inspirasi hidup kita. Ibrani 12:1"Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.
"Bagaimana cara kita bertanding? Apakah dengan membandingkan diri dengan orang lain?" Ayat selanjutnya (Ibrani 12:2) "Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah."
Fokus kepada Yesus, bukan fokus kepada orang lain yang mungkin pakai bajunya hanya kaos, pakai sandal jepit, atau apapun juga yang menurut kita tidak benar. Tidak perlu kita merasa terganggu dengan kehidupan orang lain dengan Tuhan karena setiap orang memiliki "pertandingan" mereka sendiri di dalam Tuhan.
Biarlah pencelikan ini menjadi berkat bagi kita semua dalam melayani sesama dan mari kita saling menguatkan dalam kasih karunia Tuhan.
Tuhan Yesus memberkati,
Daniel Purnomo
Comments
Post a Comment